Legenda || kolocokronews
Epik dari India yang Tumbuh di Tanah Jawa
Di tengah gemuruh peradaban klasik Jawa pada abad ke-9 Masehi, lahirlah sebuah karya sastra yang menjadi jembatan antara India dan Nusantara — Kakawin Rāmāyaṇa.
Karya ini merupakan adaptasi epik besar India karya Walmiki, namun dalam tangan para pujangga Mataram Kuno, kisah itu berubah menjadi karya khas Jawa yang penuh kehalusan bahasa dan kedalaman makna spiritual.
Menurut kajian filolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), teks ini ditulis dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dengan gaya puitik kakawin — bentuk puisi istana yang mengikuti metrum Sanskrit. Diduga kuat Kakawin Rāmāyaṇa disusun sekitar akhir abad ke-9 M, pada masa kejayaan Kerajaan Medang Mataram di bawah dinasti Sanjaya atau Śailendra, saat pengaruh kebudayaan India sedang mencapai puncaknya di Jawa.
(Sumber: UGM Journal; OAPEN; Wikipedia – “Old Javanese Ramayana”)
Lebih dari Sekadar Terjemahan
Meski berakar dari kisah India, Kakawin Rāmāyaṇa bukan sekadar terjemahan. Para ahli sastra seperti Zoetmulder dan Supomo menyebut karya ini sebagai reinterpretasi lokal.
Bagian-bagian awal mengikuti struktur epik Walmiki, tetapi di bagian akhir — terutama dalam kisah Sītā dan Rama — penyair Jawa menambahkan nuansa khas Nusantara. Tokoh-tokohnya tidak lagi hanya menjadi simbol perang dan kesetiaan, melainkan juga lambang tata krama, kewajiban moral, dan keseimbangan batin dalam kerangka budaya Jawa.
Di sinilah nilai dharma — hukum moral dan tatanan kosmis — menjadi pusat makna. Rama digambarkan bukan sekadar pahlawan, melainkan raja bijaksana yang selalu menempatkan kebenaran di atas kepentingan pribadi.
(Sumber: JSTOR – “Dharma and Leadership in the Old Javanese Ramayana”)
Pelajaran Kepemimpinan dari Abad ke-9
Dalam konteks kerajaan, Kakawin Rāmāyaṇa menjadi cermin kepemimpinan ideal.
Rama adalah lambang raja dharmika, pemimpin yang memerintah dengan keadilan dan berani berkorban demi rakyatnya. Dalam pandangan pujangga Jawa, raja sejati bukan yang berkuasa dengan kekuatan, melainkan yang menjaga keseimbangan antara dunia lahir dan batin — swadharma dan lokadharma.
Penelitian dari Journal of Southeast Asian Studies mencatat, kisah ini digunakan dalam pendidikan moral istana untuk menanamkan nilai kepemimpinan: tata laku, kesetiaan, dan tanggung jawab sosial. Bahkan, ajaran kepemimpinan Rama masih sering dijadikan teladan dalam wacana etika Jawa hingga kini.
(Sumber: Journal of Southeast Asian Studies; Academia.edu – “Leadership Ethics in Old Javanese Ramayana”)
Estetika Kawi dan Jiwa Nusantara
Selain isi, daya tarik Kakawin Rāmāyaṇa juga terletak pada bentuknya. Puisi ini memakai metrum kakawin, penuh permainan bunyi dan irama, serta metafora alam yang indah — gunung, samudra, dan bunga yang menjadi lambang spiritualitas.
Bahasanya memadukan unsur Sanskerta dengan rasa Jawa, melahirkan gaya yang tinggi namun lembut. Tak heran jika karya ini dianggap puncak sastra istana Jawa Kuno, sejajar dengan epos dunia seperti Mahābhārata atau Iliad.
Para ahli meyakini, lewat gaya ini, pujangga Jawa ingin menegaskan bahwa ilmu dan sastra bukan milik India semata, melainkan telah menemukan “jiwanya sendiri” di Nusantara.
(Sumber: Zoetmulder, Kalangwan: A Survey of Old Javanese Literature; UGM Journal of Humanities)
Warisan yang Hidup dalam Budaya
Hingga kini, kisah Kakawin Rāmāyaṇa terus hidup dalam bentuk wayang, tari, dan kidung.
Pertunjukan Sendratari Ramayana Prambanan yang digelar rutin di Yogyakarta adalah salah satu warisan langsung dari teks ini. Kisah cinta Rama dan Sītā, pengabdian Hanuman, serta peperangan melawan Rahwana menjadi cermin tentang kemenangan dharma atas adharma, sekaligus refleksi tentang kemanusiaan universal.
(Sumber: Balai Pelestarian Kebudayaan DIY; Wikipedia – “Ramayana Ballet Prambanan”)
Lebih dari seribu tahun telah berlalu sejak Kakawin Rāmāyaṇa pertama kali ditulis, namun pesonanya tak pudar.
Ia bukan hanya adaptasi sastra, melainkan manifestasi kearifan Jawa dalam memahami dunia — di mana kekuasaan diimbangi dengan kasih, dan kebijaksanaan lahir dari kesetiaan pada dharma.
Dalam setiap baitnya, pujangga Mataram mengajarkan pesan abadi:
“Sang raja sejati iku kang ngreksa jagad, ora kanthi gegaman, nanging kanthi budi lan kabeneran.”
(“Pemimpin sejati menjaga dunia, bukan dengan senjata, tetapi dengan kebijaksanaan dan kebenaran.”)
(Ant).
