Legenda || kolocokronews
Dari Sanjaya hingga Śailendra: Dua Dinasti, Satu Peradaban
Sekitar abad ke-8 Masehi, di jantung Jawa Tengah, berdirilah sebuah kerajaan besar yang dikenal sebagai Kerajaan Medang atau Mataram Kuno. Kerajaan ini menjadi pusat peradaban klasik di Nusantara, di mana dua dinasti besar — Sanjaya dan Śailendra — membangun fondasi budaya yang berpadu antara Hindu Siwa dan Buddhisme Mahāyāna.
Sumber tertua mengenai kerajaan ini berasal dari Prasasti Canggal (732 M), yang ditulis dalam bahasa Sanskerta dengan aksara Pallava. Di dalamnya disebutkan Raja Sanjaya sebagai pendiri kerajaan yang menegakkan sebuah lingga (lambang Dewa Siwa) di bukit Kunjarakunja, daerah yang kini diyakini berada di sekitar Gunung Wukir, Jawa Tengah.
Prasasti ini menjadi bukti awal bahwa unsur Hindu Siwaistis telah mengakar kuat di Medang.
Namun, tak lama setelah itu muncul Dinasti Śailendra, yang dikenal menganut ajaran Buddha Mahāyāna dan Vajrayāna. Mereka membangun candi-candi megah seperti Borobudur, Kalasan, dan Sewu, yang memancarkan estetika dan simbolisme spiritual Buddhis. Menariknya, kedua dinasti ini tidak selalu bersaing keras; beberapa sumber menilai hubungan mereka bersifat sinkretik, saling memengaruhi dalam politik, arsitektur, dan spiritualitas.
Bahasa Kawi: Suara Pikiran dari Masa Medang
Salah satu warisan terbesar dari periode ini bukan hanya candi atau prasasti, melainkan bahasa dan sastra Kawi (Jawa Kuno). Bahasa ini menjadi medium utama bagi teks-teks keagamaan, filsafat, dan sastra yang merekam pandangan dunia masyarakat Mataram.
Dalam masa pemerintahan akhir Medang, muncul sebuah karya monumental berjudul Sang Hyang Kamahāyānikan — sebuah teks esoterik Buddhis yang ditulis dengan campuran Sansekerta dan Jawa Kuno.
Karya ini disusun oleh Mpu Śrī Sambhara Sūryawarama sekitar abad ke-10 Masehi di Jawa Timur, dan berisi uraian tentang jalan spiritual menuju pencerahan, sebagaimana dipahami dalam tradisi Mahāyāna dan Mantranaya (Vajrayāna).
Menurut kajian Journal of International Association of Buddhist Universities (Jiabu), teks ini bukan hanya panduan spiritual, melainkan juga refleksi intelektual tingkat tinggi masyarakat Jawa kuno yang telah mengasimilasi filsafat India menjadi gagasan lokal.
(Sumber: Jiabu – “Philosophy of Sang Hyang Kamahāyānikan”, TCI-Thaijo.org)
Jejak Spiritual yang Melebur dalam Arsitektur
Para arkeolog meyakini bahwa konsep kosmologi yang termuat dalam Sang Hyang Kamahāyānikan — yaitu tiga alam kesadaran: kāmadhātu, rūpadhātu, dan arūpadhātu — tercermin langsung dalam struktur Candi Borobudur.
Setiap tingkat candi menggambarkan perjalanan spiritual dari dunia nafsu menuju kesunyian tertinggi. Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan antara teks dan bentuk arsitektur suci di era Śailendra.
(Sumber: Scribd – “The Secret of Borobudur: The Sang Hyang Kamahayanikan”)
Warisan yang Terus Hidup
Warisan intelektual Kerajaan Medang tidak berhenti pada masa lalu. Bahasa Kawi, naskah-naskahnya, dan konsep sinkretisme Hindu–Buddha masih menjadi fondasi penting dalam kebudayaan Jawa modern.
Nilai-nilai seperti keseimbangan, harmoni, dan kebijaksanaan spiritual yang tertulis dalam naskah Kawi turut membentuk filosofi Jawa hingga kini — dari konsep rwa bhineda hingga tradisi ruwatan dan wayang purwa.
Sejarawan menilai, periode Mataram Kuno adalah “masa keemasan literasi Nusantara”, di mana gagasan tentang ketuhanan, kosmologi, dan kehidupan sosial dirumuskan dalam bentuk bahasa yang indah, berakar dari India namun tumbuh di tanah Jawa.
Dari Prasasti Canggal hingga Sang Hyang Kamahāyānikan, dari lingga Siwa hingga stupa Borobudur, Kerajaan Medang adalah saksi bagaimana Nusantara pernah menjadi pusat ilmu dan spiritualitas besar di Asia Tenggara.
Bahasa Kawi bukan sekadar peninggalan linguistik, tetapi suara masa silam yang mengajarkan bahwa ilmu, iman, dan seni dapat hidup berdampingan dalam satu harmoni.
(Ant).
