NUSANTARA || kolocokronews
Jawa Tengah, abad ke-8 Masehi — Di tengah lembah subur yang dikelilingi Gunung Merapi, Merbabu, dan Sumbing, berdirilah sebuah kerajaan yang kelak menjadi fondasi kebesaran budaya Jawa: Kerajaan Mataram Kuno, atau disebut pula Kerajaan Medang. Berdiri sekitar tahun 732 Masehi, kerajaan ini meninggalkan jejak sejarah yang masih memancarkan kejayaan spiritual dan kebudayaan hingga kini.
Berdasarkan Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Magelang, kerajaan ini didirikan oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya — raja pertama dari Wangsa Sanjaya. Catatan ini juga menegaskan bahwa kerajaan tersebut berpusat di Bhumi Mataram, kawasan yang kini meliputi Yogyakarta dan Magelang.
Dua Wangsa, Dua Iman, Satu Tanah
Sejarah Mataram Kuno unik karena menghadirkan dua dinasti besar dengan keyakinan berbeda: Wangsa Sanjaya yang beraliran Hindu Siwa, dan Wangsa Syailendra yang menganut Buddha Mahayana.
Menurut bukti sejarah hubungan kedua wangsa ini bukanlah permusuhan, melainkan sinergi yang memperkuat budaya dan politik kerajaan. Pernikahan antara Rakai Pikatan (Sanjaya) dengan Pramodhawardhani (Syailendra) menjadi simbol penyatuan dua kekuatan spiritual yang melahirkan harmoni di Tanah Jawa.
Masa Kejayaan dan Puncak Arsitektur Nusantara
Abad ke-8 hingga ke-9 Masehi menjadi masa keemasan Mataram Kuno. Pada periode ini, muncul dua monumen megah dunia:
Candi Borobudur – mahakarya dinasti Syailendra yang merepresentasikan ajaran Buddha Mahayana.
Candi Prambanan – simbol kebesaran Hindu Siwa dari Wangsa Sanjaya.
Kedua kompleks candi ini, sebagaimana ditulis ,menjadi saksi bagaimana masyarakat Mataram Kuno memadukan nilai-nilai keagamaan, seni pahat, matematika, dan teknologi bangunan yang luar biasa untuk zamannya.
Selain dua candi tersebut, muncul pula Candi Kalasan, Sewu, dan Plaosan, serta sejumlah prasasti seperti Kalasan (776 M) dan Kelurak (782 M) yang mencatat aktivitas pemerintahan, persembahan, dan kegiatan religius.
Negeri Subur dan Masyarakat Toleran
Dengan tanah vulkanik yang subur, Mataram Kuno menjadi kerajaan agraris yang makmur. Sungai Progo dan Elo menjadi urat nadi kehidupan masyarakat, sementara kepercayaan dan ilmu pengetahuan berkembang pesat.
Dari berbagai sumber disebutkan, rakyat Mataram hidup dalam tatanan sosial religius yang rapi — petani, rohaniawan, seniman, dan bangsawan saling terikat dalam harmoni antara spiritualitas dan kemakmuran duniawi.
Perpindahan ke Timur dan Akhir Kejayaan
Namun, sekitar akhir abad ke-10 Masehi, kejayaan itu mulai pudar. Sejumlah teori menjelaskan penyebabnya: letusan Gunung Merapi yang memporak-porandakan pusat kerajaan, serta ancaman politik dari luar, termasuk tekanan Sriwijaya dari Sumatera.
Raja Mpu Sindok, tokoh terakhir yang memimpin dari Jawa Tengah, akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur dan mendirikan Wangsa Isyana, menandai babak baru dalam sejarah yang kemudian melahirkan kerajaan-kerajaan penerus seperti Kediri dan Majapahit.
Warisan Abadi Peradaban Jawa
Mataram Kuno tidak hanya meninggalkan batu dan prasasti. Ia meninggalkan konsep peradaban yang menjadi dasar pandangan hidup orang Jawa: keseimbangan antara dunia lahir dan batin, antara kekuasaan dan kebijaksanaan, serta harmoni antara perbedaan keyakinan.
Sebagaimana dicatat warisan Mataram Kuno menjadi sumber inspirasi bagi masa setelahnya — dari sastra klasik seperti Kakawin Ramayana dan Arjunawiwaha, hingga arsitektur dan tata ruang keraton-keraton Jawa modern.
Kini, di tengah reruntuhan candi dan prasasti yang bisu, Mataram Kuno tetap berbicara: tentang kejayaan masa lalu, tentang kearifan yang lahir dari persatuan, dan tentang akar budaya Nusantara yang tak lekang dimakan zaman.
(Ant).
