Malang || kolocokronews
— Suasana khidmat dan sarat makna menyelimuti kawasan wisata Pentungan Sari, Dusun Glatik, Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Minggu pagi (26/10/2025). Ratusan warga dari tujuh RW dan tujuh dusun berkumpul dalam Sidha Salamatan Desa, sebuah ritual sakral yang menjadi puncak peringatan Hari Jadi Desa Toyomarto ke-1120, bertema “Meneguhkan Kesadaran Air Kehidupan.”
Sejak pagi buta, masyarakat berarak membawa tanah, air, dan tumpeng dari tujuh sumber mata air dan tujuh dusun — di antaranya dari Sumber Awan, Ngujung, Petung Wulung, Bodean Putuk, Bodean Krajan, Glatik, dan Wonosari. Arak-arakan ini bukan sekadar prosesi seremonial, melainkan simbol penyatuan unsur kehidupan: bumi dan air, dua elemen yang menjadi sumber segala keberlangsungan.
“Tanah dan air adalah napas kehidupan. Dengan menyatukannya dari tujuh penjuru desa, kami meneguhkan tekad untuk terus menjaga harmoni antara manusia dan alam,” ujar Sumito, S.H., Kepala Desa Toyomarto, dalam sambutannya.
Ritual ini dikenal masyarakat Toyomarto sebagai Grama Tirta Cara, bagian dari warisan budaya yang diwariskan turun-temurun. Kegiatan dimulai pukul 09.00 WIB hingga 12.00 WIB di kawasan wisata Pentungan Sari. Acara dibuka dengan penampilan tari tradisional yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam, diikuti prosesi penyatuan air dari tujuh sumber dan tanah dari tujuh dusun sebagai simbol kesatuan energi bumi dan kehidupan.
Turut hadir dalam kegiatan ini sejumlah tokoh dan perwakilan instansi, di antaranya:
Hartono, S.Ap., M.M. (Kabid Kebudayaan Disparbud Kabupaten Malang)
Linuri, S.E., M.M. (Disbudpar Provinsi Jawa Timur)
Agus Widodo (Kasi PPM Kecamatan Singosari, mewakili Camat Singosari Willem)
Kompol Try Widyanto Fauzal, S.I.K., M.Si. (Kapolsek Singosari, diwakili Aipda Basuki)
Kapten Arh Heri (Danramil Singosari, diwakili Sertu Sunyoto)
Kyai Su’udi Al Faruq, tokoh agama desa
Para mantan kepala desa, ketua BPD, LPMD, serta perwakilan Muspika Singosari.
Kegiatan ini juga dihadiri oleh Joko Roro Kabupaten Malang dan perwakilan Bidang Destinasi Disbudpar Jatim, menandakan dukungan pemerintah terhadap pelestarian tradisi lokal yang bernilai budaya dan ekologis tinggi.
Angka tujuh (pitu) dalam budaya Jawa memegang makna mendalam. Ia melambangkan kesempurnaan alam semesta sekaligus pitulungan — pertolongan Tuhan. Melalui penyatuan air dari tujuh sumber dan tanah dari tujuh dusun, masyarakat Toyomarto berharap memperoleh restu dari Gusti Allah dan leluhur agar desa senantiasa dalam lindungan dan keberkahan.
Makna ritual ini sejatinya telah hidup sejak masa kerajaan Nusantara. Dalam Negarakertagama dan Pararaton, air dan tanah digunakan sebagai lambang kesetiaan dan kesatuan wilayah. Di Toyomarto, nilai sejarah itu dihidupkan kembali sebagai ikrar ekologis dan spiritual — bahwa menjaga alam adalah wujud kesetiaan manusia terhadap kehidupannya sendiri.
Di tengah meningkatnya isu perubahan iklim, ritual Sidha Salamatan Desa menjadi ajakan moral untuk meneguhkan kembali hubungan suci antara manusia dan alam. Kesadaran ini tidak berhenti pada simbol, melainkan diwujudkan dalam tekad bersama menjaga sumber daya air, tanah, dan lingkungan Toyomarto yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Puncak acara berlangsung penuh haru saat dilakukan prosesi pelepasan burung ke langit Toyomarto. Burung-burung yang beterbangan bebas menjadi simbol doa, kebebasan, dan keikhlasan.
“Burung itu membawa doa kami ke langit. Semoga Toyomarto selalu dijauhkan dari mara bahaya dan tetap diberkahi kesejahteraan,” ujar salah satu sesepuh desa dengan mata berkaca-kaca.
Ritual yang menggabungkan unsur budaya, spiritualitas, dan kesadaran ekologis ini menjadi cermin kedewasaan masyarakat Toyomarto dalam membaca pesan leluhur. Setiap langkah membawa air dan tanah, setiap tarian dan doa, menjadi perjalanan batin untuk memaknai kembali keseimbangan hidup.
“Toyomarto telah berdiri lebih dari seribu tahun. Namun justru hari ini, maknanya semakin dalam — karena kita belajar bahwa menjaga air, tanah, dan alam berarti menjaga diri sendiri,” tutup Sumito, penuh keyakinan.
Melalui Sidha Salamatan Desa – Grama Tirta Cara, Toyomarto tidak sekadar memperingati usia panjangnya. Lebih dari itu, desa ini menegaskan jati dirinya sebagai desa berkesadaran ekologis, tempat di mana tradisi, spiritualitas, dan alam berpadu dalam harmoni abadi.
(Red) .
