Pasuruan || kolocokronews
Sabtu (25/10/2025) — Suara penolakan warga di kawasan Tretes, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, semakin nyaring terdengar. Rencana pembangunan kawasan real estate di lereng Gunung Arjuno–Welirang oleh pihak pengembang menuai gelombang protes dari masyarakat yang khawatir akan dampak lingkungan dan hilangnya keseimbangan alam.
Proyek yang digagas oleh PT Stasionkota Sarana Permai (SSP) ini disebut mencakup lahan sekitar 22,5 hektar di wilayah Kelurahan Pecalukan dan Ledug, tak jauh dari kawasan wisata Tretes. Warga menilai pembangunan perumahan mewah di daerah tersebut berpotensi merusak sumber mata air dan memicu bencana alam seperti longsor maupun banjir bandang.
“Air di sini bukan hanya untuk kami, tapi juga untuk daerah lain. Kalau hutan di atas dibuka, sumber air bisa mati,” ujar salah satu tokoh warga Tretes dalam pertemuan terbuka dengan pihak legislatif.
Penolakan ini bukan sekadar wacana. Warga dari tiga kelurahan — Pecalukan, Ledug, dan Tretes — memasang spanduk penolakan di sejumlah titik, serta mendatangi gedung DPRD Kabupaten Pasuruan untuk menyampaikan aspirasi mereka. Aksi tersebut mendapat perhatian serius dari anggota dewan, yang kemudian menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama masyarakat, Dinas Lingkungan Hidup, Perhutani, dan perwakilan pengembang.
Ketua DPRD Pasuruan menyebut akan mendorong pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk mengkaji secara menyeluruh aspek legalitas, tata ruang, dan dampak lingkungan proyek tersebut. “Kami tidak ingin ada kebijakan pembangunan yang mengorbankan kelestarian alam dan hak warga sekitar,” tegasnya.
Sementara itu, pihak pengembang PT SSP mengklaim telah memiliki beberapa izin seperti PKKPR dan NIB, namun mengakui bahwa dokumen AMDAL masih dalam proses. Mereka berjanji akan mematuhi prosedur dan memastikan proyek berjalan sesuai aturan yang berlaku.
Namun, bagi warga, janji itu belum cukup. Mereka menilai kawasan di kaki Gunung Arjuno–Welirang memiliki fungsi ekologis vital sebagai daerah resapan air dan penyangga bencana. “Kami bukan menolak pembangunan, tapi kami menolak jika pembangunan itu mengancam keselamatan dan kehidupan kami,” kata perwakilan warga dalam forum dialog.
Hingga kini, polemik pembangunan real estate tersebut masih berlanjut. Warga tetap bertahan dengan penolakan mereka, sementara pemerintah daerah bersama DPRD tengah menyiapkan langkah evaluasi agar setiap rencana pembangunan di kawasan sensitif alam tetap sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
(Red).


