Tembang “Lir Ilir” Sunan Kalijaga:Makna Filosofis yang Mendalam dalam Peringatan 1 Suro

Malang,kolocokronews_com

9 Juli 2024 – Tembang “Lir Ilir” yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga kembali menggema dalam peringatan 1 Suro yang diselenggarakan oleh para budayawan di berbagai daerah. Lagu legendaris ini tak hanya indah didengar, tetapi juga sarat dengan makna filosofis yang mendalam, menjadikannya bagian penting dari peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram.

 

Sunan Kalijaga adalah salah satu dari sembilan wali (Wali Songo) yang memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15 dan 16. Nama asli Sunan Kalijaga adalah Raden Mas Syahid, dan ia dikenal dengan berbagai sebutan lain seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.

Sunan Kalijaga terkenal dengan pendekatan dakwahnya yang unik dan inovatif. Ia menggunakan seni dan budaya lokal sebagai media untuk menyampaikan ajaran Islam. Salah satu bentuk dakwahnya yang paling terkenal adalah melalui seni tembang (lagu tradisional Jawa), wayang kulit, dan gamelan. Dengan memadukan elemen-elemen budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam, Sunan Kalijaga berhasil menarik minat masyarakat Jawa untuk memeluk Islam tanpa harus meninggalkan tradisi mereka.

 

Salah satu peninggalan sunan kalijaga melalui tembang Jawa lir Ilir di sampai kan pesan yang dalam ,sehingga saat ini masih sering di lantunkan para budayawan juga Agamawan karena sebuah tembang yang di kemas penuh keindahan dan arti di dalamnya.

Makna dan Filosofi “Lir Ilir”

“Lir Ilir” adalah tembang yang mengajak umat untuk bangkit dan memperbaharui diri. Baris pertama, “Lir ilir, lir ilir, tandure wus sumilir,” mengajak pendengarnya untuk bangun dan menyadari bahwa kehidupan terus berlanjut dan selalu ada kesempatan baru, seperti tanaman yang mulai bersemi.

 

Baris berikutnya, “Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar,” menggambarkan kehidupan yang penuh dengan kesegaran dan keindahan, menyerupai pengantin baru. Ini mengingatkan kita untuk selalu meremajakan semangat dan iman dalam menjalani hidup.

 

Pesan lain dari tembang ini, “Cah angon-cah angon, penekna blimbing kuwi,” mendorong kita untuk bekerja keras dan bijaksana dalam mencapai tujuan hidup, sementara “Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodotira” mengajarkan ketekunan meski banyak rintangan untuk membersihkan diri dari dosa dan kesalahan.

**Peringatan 1 Suro dan Tradisi Budaya**

Peringatan 1 Suro yang diadakan setiap tahun selalu diwarnai dengan pelantunan tembang “Lir Ilir”. Bagi banyak budayawan dan masyarakat, melantunkan tembang ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah bentuk introspeksi dan pembaharuan diri. Tembang “Lir Ilir” menjadi media untuk mengajak masyarakat merenungkan kehidupan, meningkatkan spiritualitas, dan menjaga kearifan lokal serta warisan budaya yang sarat dengan nilai-nilai luhur.

 

Pada peringatan 1 Suro tahun ini, acara yang digelar di berbagai daerah menampilkan berbagai kegiatan, termasuk pembacaan doa, pertunjukan seni, dan tentu saja, pelantunan tembang “Lir Ilir”. Acara ini diharapkan dapat memperkuat ikatan sosial dan spiritual masyarakat, serta mengingatkan pentingnya merawat dan melestarikan budaya tradisional.

**Pentingnya Melestarikan Tembang Tradisional**

Melalui pelestarian tembang “Lir Ilir”, kita tidak hanya merayakan warisan budaya, tetapi juga menyerap pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya. Peringatan 1 Suro dengan tembang “Lir Ilir” menjadi momen penting untuk mengingatkan kita akan kebijaksanaan para leluhur dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

 

Dengan terus melantunkan dan memahami makna di balik “Lir Ilir”, kita dapat menjaga nilai-nilai budaya dan spiritual yang telah diwariskan oleh Sunan Kalijaga, juga para sesepuh kita,serta memastikan bahwa warisan ini tetap relevan dan bermanfaat bagi generasi mendatang .

 

(Ant)#