Seminar Nasional dan Kirab Tumpeng Agung ke-14″Menapaki Jalan Terang Peradaban Nusantara

Blitar || Kolocokronews

– Lembaga Pelindung dan Pelestari Budaya Nusantara (LP2BN) kembali menggelar agenda budaya tahunan bertajuk Kirab Tumpeng Agung Nusantara Gotong Royong ke-14 yang kali ini dirangkai dengan penyelenggaraan Seminar Nasional bertema “Tatanan Luhur Jalan Terang Suatu Bangsa”. Acara berlangsung khidmat pada Rabu, 26 Juni 2025, di Pendapa Ageng Hand Astasih, Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Kegiatan ini didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Blitar, Pemerintah Kota Blitar, serta para Sultan dan Raja dari berbagai kerajaan di Nusantara. Seminar ini merupakan bagian dari komitmen untuk memperkuat pemajuan kebudayaan, mendorong sektor ekonomi berbasis budaya, dan menghidupkan kembali potensi pariwisata daerah melalui jejaring Majelis Kerabatan Agung Diraja Nusantara.

Salah satu pembicara utama, Prof. DR. KGPH. Ratu Gajah Oyo Sandjoyo Putro, S.E., M.A., yang dikenal sebagai pakar ekonomi mikro dan tokoh penggerak UKM/BUMP, menekankan bahwa arah pembangunan ekonomi nasional harus kembali berakar pada kearifan lokal. Ia menilai bahwa budaya luhur warisan nenek moyang menjadi fondasi penting dalam menciptakan sistem ekonomi yang jujur dan berkelanjutan.

“Kita harus belajar dari kultur ekonomi para leluhur yang menjunjung keseimbangan antara manusia dan alam. Kita jangan sampai kehilangan identitas karena terlalu terbawa arus budaya asing yang tak sepenuhnya kita pahami. Budaya digital seperti TikTok bisa menjadi peluang maupun ancaman, tergantung sejauh mana kita mampu mengakomodir dan menyikapinya dengan bijak,” tegasnya.

Dalam sesi berikutnya, Duli Yang Maha Mulia Prof. Dr. M.S.P.A. Iansyah Rechza FW. Ph.D., Maharaja Kutai Mulawarman dari Kalimantan Timur, menyampaikan urgensi pengakuan hukum terhadap masyarakat adat. Ia mendorong percepatan pengesahan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat yang sejak 2014 diperjuangkan agar masyarakat adat memiliki hak atas wilayah dan tanah ulayat mereka.

“Kita harus pastikan kerajaan-kerajaan dan masyarakat adat memiliki hak komunal yang dilindungi undang-undang. Perjuangan ini bukan hanya soal masa lalu, tapi tentang masa depan kedaulatan budaya kita,” ujar beliau.

Sementara itu, tokoh budaya asal Malang, Eyang Djati Kusumo, melihat momentum ini sebagai titik awal kebangkitan kesadaran bangsa akan jati dirinya. Menurutnya, kerajaan bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan pilar budaya yang menyimpan nilai-nilai luhur dalam tata kehidupan berbangsa.

“Bangsa ini punya utang sejarah pada kejayaan masa lampau. Sebelum Republik Indonesia berdiri, kerajaan-kerajaan Nusantara telah menjadi poros peradaban. Kini saatnya kita kembali merajut sejarah itu menjadi identitas nasional yang utuh,” ucapnya penuh semangat.

Salah satu peserta sekaligus pewaris Kerajaan Sriwijaya Ufuk Timur, Dra. Elly Yuniarti, M.S., M.M., menyampaikan bahwa peringatan 1 Muharam atau 1 Suro bukan sekadar penanggalan spiritual, melainkan momentum untuk kebangkitan nasional.

“Malam 1 Suro ini adalah pertanda, saatnya bangsa ini bangkit dengan karakter dan budaya yang agung. Kita harus bersatu, memperbaiki negeri dengan etika dan nilai luhur warisan leluhur. Semua ini kehendak Ilahi yang tidak boleh kita abaikan,” tandasnya.

Dengan sinergi antara para tokoh adat, akademisi, dan pemerintah daerah, kegiatan ini menjadi salah satu tonggak penting dalam merajut kembali kedaulatan budaya bangsa, menuju Indonesia yang berakar kuat namun mampu berdialog dengan zaman.

(Red).