Malang || kolocokronews
— Dalam rangka memperingati Hari Jadi ke-1120 Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, digelar sebuah acara istimewa bertajuk Saresehan Eko-Kultura dengan tema “Sapta Tirtha Nagari”. Acara yang berlangsung Jumat malam (24 Oktober 2025) di destinasi wisata air Pentungansari ini menghadirkan budayawan dan sejarawan Malang, M. Dwi Cahyono, sebagai salah satu narasumber utama.
Dalam sesi bertajuk “Sejarah Mikro dan Wisata Saujana Desa Toyomarto: Telisik Konsepsi Air Penghidupan pada Toponimi Toyomarto”, Dwi Cahyono mengupas perjalanan panjang desa ini dari masa ke masa. Ia menjelaskan bahwa Toyomarto bukan sekadar desa di lereng timur Gunung Arjuna, tetapi juga sebuah “desa air” yang memiliki makna teologis, ekologis, dan historis yang dalam.
“Air bukan hanya sumber kehidupan secara biologis, tetapi juga simbol kesucian dan keseimbangan kosmis. Itulah mengapa nama ‘Toyomarto’ berarti air kehidupan — serupa dengan konsep tirthamreta, air suci yang memberi keabadian,” ujar Dwi Cahyono.
Jejak Sejarah dari Prasasti hingga Ludruk Desa
Saresehan ini menjadi bagian dari rangkaian Njagong Deso, tradisi tahunan yang sarat makna kebersamaan dan kebudayaan. Penanggalan Hari Jadi Desa Toyomarto sendiri diambil dari prasasti Raja Balitung bertarikh 905 Masehi, yang menyebut wilayah Hujung — cikal bakal desa ini — sebagai bagian penting dari lanskap sejarah kuno di timur Singosari.
Selain diskusi sejarah, warga juga menampilkan kesenian tradisi ludruk, dengan lakon “Babad Desa Toyomarto”. Cerita ini mengisahkan asal-usul nama dusun-dusun di Toyomarto serta perjuangan laskar Diponegoro yang pernah mengungsi ke lereng timur Arjuna pada era Perang Jawa. Uniknya, seluruh pemain ludruk dan pengrawit Amarta Laras adalah warga desa sendiri — melanjutkan napas kesenian rakyat yang sejak 1990-an masih hidup di Dusun Sumberawan dan Glatik.
“Ludruk Toyomarto kini menjadi satu-satunya ludruk desa yang masih aktif di Kecamatan Singosari. Ini bukti nyata semangat warga menjaga tradisi,” tutur salah satu panitia.
Toyomarto” Negeri Air di Lereng Arjuna
Tema “Sapta Tirtha” tidak dipilih tanpa alasan. Tujuh dusun di Toyomarto masing-masing memiliki sumber air atau sungai yang menjadi penopang kehidupan. Ada Sumberawan dengan stupa kunonya yang termasyhur dalam Kakawin Nagarakretagama, Pentungansari di Glatik, Lombok Gambir di Bodean Puthuk, hingga Putri Salju di Wonosari.
Kekayaan air inilah yang menjadikan Toyomarto sebagai kawasan yang secara ekologis dan spiritual disebut “habitat air”. Dari masa Hindu–Buddha, lereng Arjuna sudah dianggap wilayah suci dan strategis — bahkan dipercaya sebagai bagian dari kisah mitologis pemindahan puncak Gunung Meru untuk menstabilkan Pulau Jawa.
Dwi Cahyono juga mengaitkan sejarah Toyomarto dengan jejak kerajaan Tumapel–Singhasari. Ia menyebut bahwa wilayah ini sudah menjadi pusat “Watak Hujung” jauh sebelum Singhasari berdiri sebagai kadatwan kerajaan di abad ke-13.
Wisata Saujana” Menyatukan Alam dan Sejarah
Kini, sumber air besar Pentungansari telah berkembang menjadi destinasi wisata air yang memadukan nuansa arkais dan etnik Jawa. Meski belum banyak ditemukan artefak arkeologis, elemen arsitekturnya — seperti gapura candi bentar, relief Garudeya, dan arca pancuran — menghidupkan kembali semangat budaya masa lalu.
Selain itu, Sumberawan menjadi magnet wisata budaya yang kuat dengan telaga suci dan situs stupa peninggalan Majapahit. Di Dusun Ngujung, ditemukan pula urung-urung air dan lumpang batu besar yang diduga berhubungan dengan aktivitas religius masa lampau.
Dwi Cahyono mengingatkan bahwa kekayaan alam dan budaya Toyomarto merupakan satu kesatuan yang membentuk wisata saujana — wisata yang mengintegrasikan alam, budaya, dan spiritualitas.
“Toyomarto bukan hanya tempat rekreasi, tapi ruang pembelajaran sejarah dan ekologi. Wisata saujana inilah yang bisa menjadi model pembangunan berbasis kearifan lokal di lereng Arjuna,” pungkasnya.
Meneguhkan Kesadaran “Air Kehidupan”
Puncak rangkaian Hari Jadi Desa Toyomarto akan ditutup dengan Sidha Salamatan Desa , berupa ritual “selamatan banyu” — tradisi yang memuliakan air sebagai sumber kehidupan.
Melalui saresehan ini, masyarakat diingatkan bahwa air bukan hanya kebutuhan dasar, tetapi juga simbol spiritual yang menyatukan manusia dengan alam. Sebagaimana terpantul pada nama desa itu sendiri: Toyomarto — air kehidupan yang mengalir abadi dari masa ke masa.
(Ant).


