Sam Tito Dampingi Griya Kriya Difabel, Malang Punya Harapan Baru di Dunia Seni Inklusif

Malang || Kolocokronews

– Di tengah geliat Kota Malang sebagai kota kreatif, kabar menggembirakan datang dari sudut yang mungkin jarang tersorot. Sebuah ruang seni bernama Griya Kriya Topeng Ramah Difabel kini resmi mendapatkan pendampingan hukum dari pengacara ternama Malang, Dwi Indrotito Cahyono, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Sam Tito.

Pendampingan ini bukan sekadar dukungan biasa. Ia adalah simbol kuat bahwa inklusi sosial bukan utopia belaka—ia nyata, dan sedang diperjuangkan bersama.

Didirikan oleh pasangan seniman Ki Djoko Rendy dan istrinya, Griya Kriya lahir dari cinta dan kepedulian. Di sana, para penyandang disabilitas diberi ruang untuk berkarya, belajar, dan percaya diri. Dari tangannya, lahir topeng-topeng tradisional yang bukan hanya indah, tapi juga menyimpan cerita perjuangan.

“Saya melihat bahwa teman-teman difabel ini tidak kekurangan semangat maupun bakat. Yang mereka butuhkan adalah kesempatan. Dan saya merasa terpanggil untuk turut menjaga ruang ini agar tetap hidup dan berkembang,” ungkap Sam Tito saat menghadiri penyerahan dukungan hukum pada Selasa (13/05/2025) petang.

Dukungan dari Sam Tito menjadi amunisi baru bagi Griya Kriya. Dengan pijakan hukum yang lebih kuat, komunitas ini kini bisa menjalin kerja sama lebih luas, mengakses dukungan kelembagaan, dan membuka peluang-peluang baru bagi anggotanya.

“Kami tidak meminta belas kasihan. Kami hanya ingin diakui bahwa kami mampu. Bahwa karya seni kami layak, dan bahwa kami juga bagian dari kemajuan budaya bangsa,” ujar Ki Djoko Rendy dengan mata yang berkaca-kaca.

Ia menambahkan, meski sebagian anggotanya memiliki keterbatasan fisik, bukan berarti mereka tak bisa produktif. Justru dalam kekurangan, mereka menemukan cara unik untuk menyampaikan jiwa mereka lewat seni.

Lebih dari sekadar tempat berkarya, Griya Kriya telah menjelma menjadi rumah kedua, tempat terapi jiwa, dan ruang tumbuh bagi harapan.

Di tengah dunia yang kerap abai terhadap suara yang tak lantang, langkah kecil ini adalah gema besar. Dan bagi masyarakat Malang, ini adalah pengingat: bahwa inklusi bukan soal memberi tempat—tetapi mengakui bahwa setiap jiwa layak diperjuangkan.

(Red).