MENELAAH DURGA RA NINI ” ANTARA BIDADARI DAN IBLIS ASLI NUSANTARA

Malang || Kolocokronews_
Di balik kemegahan candi-candi Jawa yang bertatahkan batu dan sejarah, tersembunyi kisah seorang dewi yang tak hanya dipuja, tetapi juga ditakuti: Durga. Sosok ini bukan sekadar tokoh mitologis India yang menyeberangi lautan keyakinan, tetapi ia mengalami transformasi yang luar biasa dalam tanah Jawa — dari Dewi pembinasa kejahatan menjadi pemimpin bala tentara siluman.

Durga yang Anda lihat di Candi Prambanan adalah sang legenda — dikenal sebagai Roro Jonggrang, wanita berpinggang ramping, cantik dan adikodrati. Tapi hanya 2,5 jam perjalanan darinya, di Candi Sukuh, Anda akan menemukan sosok Durga yang sangat berbeda: bertaring, berambut gimbal, memimpin pasukan roh jahat. Ia bukan lagi sekadar dewi, tapi simbol kekuatan gelap yang membelah sejarah dan budaya Jawa Kuno.

Durga dan Transfigurasi Sosial Jawa
Durga dalam ajaran Siwa bukan sekadar pasangan Dewa, tapi perwujudan aspek kemarahan dan energi feminin tertinggi — shakti. Dalam versi orisinal Hindu, Durga muncul sebagai jawaban atas ketidakberdayaan para dewa menghadapi Mahesasura. Dia dibentuk dari api kemarahan para dewa, tampil cantik, namun mematikan. Ia adalah Candika, asal mula kata “candi”.

Namun seiring waktu dan masuknya ajaran Tantra, khususnya Bhairawa Tantra yang berkembang di bawah Raja Kertanegara, wajah Durga di Jawa mulai berubah.


Bagi penganut Tantra, terutama dari aliran kiri (pangiwa), kekuatan Durga dipuja bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pemusnah ego manusia, yang bersemayam dalam nafsu, amarah, dan keserakahan — sifat-sifat Asura.

Durga Ra Nini” Sosok yang Disalah pahami
Di mata masyarakat awam dan elit istana, ritual-ritual Tantra dianggap menyimpang. Maka muncullah narasi-narasi dalam teks seperti Korawasrama, Kidung Sudamala, hingga Tantu Panggelaran, yang menyudutkan Durga sebagai istri tak setia — berselingkuh dengan Dewa Surya atau bahkan penggembala kambing.

Dalam mitologi ini, ia dikutuk menjadi Durga Ra Nini — bertaring, pemakan darah, dan penguasa Setra Gandamayit (kuburan).

Konsep ini kian kuat di masa Majapahit akhir, ketika candi-candi seperti Penataran dan Tegawangi mulai menampilkan sosok Durga yang menyeramkan, berbeda jauh dari Durga Mahesasuramardini di masa sebelumnya.

Kuburan, Darah, dan Pembebasan
Dalam Tantra, darah dan kuburan bukanlah tabu, tapi gerbang menuju pencerahan. Durga dan Kali, dua wajah dari energi feminim, menjadi satu dalam kekuatan yang mampu menghancurkan kejahatan dari dalam diri manusia. Kuburan adalah tempat penyucian, darah adalah simbol penyerahan ego — inilah puncak ruwatan sejati.

Maka tidak mengherankan jika masyarakat lapisan bawah lebih memilih sosok Durga Ra Nini sebagai pelindung spiritual mereka. Ia bukan hanya dewi pembebas, tapi juga simbol perlawanan terhadap norma elite dan penjaga harmoni antara dunia nyata dan dunia roh.

Di Antara Mitos dan Jati Diri
Durga Ra Nini bukan sekadar kisah horor masa lalu. Ia adalah cermin dari lapisan dalam budaya Jawa — sinkretik, spiritual, penuh simbol dan perlawanan. Di tangan rakyat, ia bukan iblis, melainkan ibu — yang keras namun adil, menakutkan tapi melindungi.

Dalam singkapan berikutnya, kita akan menyelami dunia para pengikutnya: bala tentara Durga Ra Nini. Dari Setra Gandamayit hingga naskah-naskah ruwatan, dari sosok Calon Arang hingga barisan siluman Jawa yang tercatat dalam teks-teks mistik.

Karena hanya dengan memahami sejarah, kita bisa mengenali jati diri bangsa.
(Sbr/Asisi Suharianto)
(Ant).