Malang || Kolocokronews_
Di langit para dewa, Dewi Uma dikenal sebagai bidadari agung—lembut, cantik, dan berwibawa. Namun, satu kesalahan membuatnya jatuh dari kahyangan. Ia dikutuk oleh suaminya sendiri, Bathara Guru, dan berubah menjadi sosok mengerikan: raksesi bertaring, Durga Ra Nini. Lalu diusir dari alam para dewa, dan dilempar ke bumi.
Pertanyaannya, ke mana jatuhnya sang bidadari malang ini?
Jawabannya tersembunyi di kaki Gunung Lawu, tepatnya di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. Situs ini misterius: bentuknya menyerupai piramida, mirip dengan struktur di Amerika Selatan. Banyak yang berspekulasi, mengaitkannya dengan Atlantis, Lemuria, atau peradaban purba ribuan tahun. Namun relief dan arsitekturnya justru menunjukkan sesuatu yang lebih “dekat”—yakni warisan akhir Majapahit.
Candi Sukuh menyimpan jejak kejatuhan Dewi Uma yang telah berubah menjadi Durga Ra Nini, pemimpin pasukan siluman dan roh jahat. Ia bertaring, membawa parang, dikelilingi oleh makhluk-makhluk ganjil: tangan tanpa badan, kepala tanpa tubuh—para wadokala, pasukan astral penggambaran ketidakseimbangan kosmos.
Menurut Kidung Sudamala, Durga Ra Nini adalah personifikasi dari malapetaka yang harus disucikan. Di sinilah muncul sosok penting: Sadewa, si bungsu Pandawa. Dalam relief Candi Sukuh, ia digambarkan terikat di pohon Randu di tanah angker bernama Setra Gandamayit—kediaman Durga. Sang Ratu Durga meminta Sadewa untuk meruwat dirinya.
Awalnya Sadewa menolak. Durga mengamuk dan hendak membunuhnya. Namun datanglah Bathara Guru, turun tangan. Ia merasuk ke tubuh Sadewa dan memberi kekuatan spiritual. Maka terjadilah puncak kisah: Sadewa berhasil meruwat Durga Ra Nini, membebaskan sang raksesi dari kutukan. Ia kembali menjadi Dewi Uma yang cantik. Para siluman pun berubah menjadi bidadari. Sebuah “before-after” spiritual yang dipahat secara jelas di relief Candi Sukuh.
Sebagai hadiah, Dewi Uma mengganti nama Sadewa menjadi Sudamala—“dia yang membawa kesucian.
” Sudamala kemudian diutus menyembuhkan Begawan Tambapetra, dan menikah dengan putrinya, Ni Padapa.
Namun kisah ruwat tak berhenti di situ. Dalam relief lanjutan, muncul Bima, Nakula, dan para Pandawa menghadapi dua raksasa: Kalantaka dan Kalanjaya, yang menyerbu benteng Pandawa. Bima dengan kuku Pancanakanya menaklukkan mereka.
Dan seperti dalam siklus ruwat lainnya—raksasa itu pun berubah kembali menjadi bidadara, lepas dari kutukan setelah dibunuh secara sakral.
Ruwat bukan sekadar penyucian. Ini adalah proses perubahan.
Candi Sukuh, dengan bentuknya yang mengingatkan pada punden berundak, menyampaikan pesan itu secara gamblang. Di tengah keruntuhan Majapahit, saat negara kacau, krisis kepemimpinan terjadi, dan rakyat kecil menderita—dibangunlah tempat suci untuk “meruwat negara”.
Relief Sudamala di candi ini menjadi saksi bagaimana masyarakat Jawa memahami mala bukan sebagai kutukan abadi, tapi kondisi yang bisa dipulihkan. Dalam kepercayaan mereka, Bathari Durga dan bala tentaranya bukanlah entitas jahat yang lahir dari niat buruk, tapi representasi dari ketidakseimbangan alam semesta.
Konsep ruwat terus bergaung dalam sastra-sastra besar Nusantara: dari Kidung Sudamala, Serat Calon Arang, hingga Tantu Panggelaran. Dalam Tantu, diceritakan bagaimana Bathara Guru mengutuk Dewi Uma karena memakan anaknya sendiri—dan mengutuk dirinya menjadi raksasa, Bathara Kalarudra. Dunia manusia nyaris hancur. Maka para dewa turun dan… mempertunjukkan wayang kulit.
Ya, wayang kulit adalah ritual ruwat itu sendiri. Pertunjukan sakral untuk menetralkan dunia dari kekacauan.
Candi Sukuh adalah warisan ruwat terbesar Jawa.
Bukan hanya tentang Dewi Uma, tapi juga tentang harapan. Tentang perubahan dari gelap menjadi terang, dari kutukan menuju anugerah. Bahwa siapa pun yang jatuh, seperti Durga Ra Nini, bisa bangkit kembali sebagai Uma yang agung.
Dan siapa pun yang mengenal sejarahnya, tak akan lupa dari mana dirinya berasal.(Sbr/Asisi suharianto)
(Ant)