Kala, Ruwatan, dan Candi Sukuh”Warisan Mistis dari Ujung Senjakala Majapahit”

Malang || Kolocokronews
Di atas lembu Andini, di tengah samudra luas yang tanpa tepi, Bathara Guru—raja para dewa—menunggang bersama istrinya, Dewi Uma. Namun di sanalah hasrat dan murka ilahi bertemu. Bathara Guru tiba-tiba dilanda birahi dan mengajak istrinya bersanggama. Dewi Uma menolak, dan dari penolakan itu terjadilah malapetaka: sperma sang dewa tumpah ke samudra.

Karena murka, Bathara Guru mengutuk Dewi Uma menjadi raksesi mengerikan bernama Bathari Durga, dan mengusirnya dari kahyangan. Dari benih yang jatuh ke samudra itulah lahir makhluk rakus nan mengerikan: Kamasalah. Ia tumbuh menjadi raksasa ganas yang mengguncang kahyangan dan menantang para dewa. Namun akhirnya ia ditaklukkan oleh Bathara Guru sendiri, dan diakui sebagai anak. Namanya berubah: Bathara Kala, sang pemangsa waktu.

Bathara Kala, yang rakus tak terpuaskan, kemudian meminta izin untuk memangsa manusia di bumi. Bathara Guru mengizinkan, tapi dengan satu syarat: ia hanya boleh memangsa manusia yang tidak terlindungi oleh rajah Kalacakra, mantra suci penangkal malapetaka. Rajah itu dituliskan di tubuh Bathara Kala sendiri.

Melihat bahaya yang mengintai umat manusia, Bathara Wisnu turun tangan. Bersama para dewa, ia menyamar sebagai seorang dalang,

memanggungkan pertunjukan wayang kulit di bumi. Di sinilah muncul Dalang Kandabhuana, penjelmaan Bathara Wisnu, yang mampu membaca rajah Kalacakra. Bathara Kala tunduk padanya.

Dalang Kandabhuana kemudian menetapkan: hanya orang-orang sukerta—yakni mereka yang membawa cacat lahir, nasib buruk, atau kesalahan leluhur—yang boleh menjadi mangsa Bathara Kala. Untuk itulah ruwatan dilakukan: sebuah upacara suci untuk menyucikan dan membebaskan manusia dari incaran sang Kala.

Kisah ini dikenal dengan nama “Murwakala”, dan hingga kini menjadi inti dari pentas wayang kulit dalam ritual ruwatan. Lebih dari sekadar tontonan, ini adalah warisan spiritual, sarana pembersihan jiwa dan nasib buruk dalam tradisi Jawa.

Dari sini, ruwatan berkembang: menjadi ruwat desa, ruwat negara, dan bentuk-bentuk lainnya. Tujuannya sama: menolak bala, mengembalikan harmoni kosmik. Tradisi ini masih hidup, misalnya dalam upacara pemotongan rambut gimbal di dataran tinggi Dieng—anak-anak istimewa yang dianggap membawa beban energi luar biasa.

Mereka yang telah diruwat, dianggap suci kembali, lepas dari incaran Kala. Dalam makna yang lebih dalam, ruwatan membawa manusia kepada pemahaman kesejatian diri.

Salah satu representasi spiritual tertinggi dari ruwat adalah kisah Bima dan Dewa Ruci, termuat dalam kitab Nawaruci karya pujangga Siwamurti. Dalam kisah ini, Bima memasuki dasar samudra dan bertemu Dewa Ruci—sosok kecil yang ternyata adalah dirinya sendiri. Ia diberi pengetahuan sejati, dan keluar sebagai pribadi yang sempurna.

Relief kisah ini terpahat indah di Candi Sukuh, sebuah candi yang misterius dan berbeda dari candi Hindu-Buddha lainnya. Relief Sudamala, Nawaruci, dan Garuda yang mengalahkan ular—semuanya bercerita tentang pembebasan dari mala, energi negatif.

Candi Sukuh diyakini dibangun pada senjakala Majapahit, saat negara agung itu mulai runtuh. Dengan arsitektur yang kasar, kemungkinan dibangun tergesa di tengah krisis. Tapi pesannya jelas: ruwat negara. Sebuah harapan agar Majapahit pulih, agar rakyat kecil terbebas dari malapetaka akibat kekacauan kepemimpinan.

Kini, kisah-kisah itu menjadi cermin. Bahwa mengenal sejarah bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi mengenali jati diri. Agar tak tercerabut dari akar.

Sebab siapa yang lupa asalnya, akan mudah hanyut dalam arus Kala.
(Ant).