Sejarah Goa,Kolocokronews.com_
Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati hari yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia,. Tapi khusus orang-orang Wajo, 17 Agustus juga sekaligus diperingati sebagai hari pengepungan dan bumi hangus Benteng pertahanan kerajaan Wajo oleh pasukan Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng dan VOC Belanda yang dipimpin oleh La Tenri Tata To Unru Daeng Serang Arung Palakka di TOSORA.
Arung Matowa Wajo ke 23 La Tenri Lai To Sengngeng, adalah termasuk salah seorang Komandan perang yang memimpin 100.000 prajurit Kerajaan Wajo beraliansi dengan Kerajaan Gowa melawan VOC Belanda, selama perang Makassar tahun 1666-1667.
Menurut Corpus Diplomaticum deel II, Bls. (370 – 380), Tanggal 21 Desember 1666 dikibarkan bendera merah tanda dimulainya perang. Perang besar terjadi, armada Speelmen terusir meninggalkan perairan Makasar mengembangkan layar ke selatan , tanggal 23 Desember 1666 pasukan ini mendarat di Laikang ( Turatea ). Pasukan Speelmen dan Arung Palakka kocar kacir lalu meninggalkan Laikang. Tanggal 25 Desember 1666 pasukan ini mendarat di Bantaeng. Terus terjadi perang hingga ke Buton lalu kembali ke Makassar pada 22 Oktober 1667.
Perang besar semakin takterelakkan bala bantuan pasukan VOC dari Jakarta datang, memperkuat serangan dan akhirnya Barombong direbut dan pada Jumat 18 November 1667 disepakati perjanjian damai dinamakan Perjanjian Bungaya. Dan orang Belanda menamakan Het Bingaisch Verdrag. Menurut Corpus Diplomaticum, dilakukan oleh I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangappe Sultan Hasanuddin dan Coernelis Janzsoon Speelman. Ditandai penyerahan seutas kalung emas.
Pada 18 November 1667 Perang Makassar telah usai, tetapi tidak untuk La Tenri Lai Tosengngeng, Baginda Raja Wajo menolak menanda tangani Perjanjian Bongaya bersama Raja Tallo, Karaeng Lengkese, mereka membawa ribuan pasukannya.
Menurut Corpus Diplimaticum deel 11, blz 380 – 383, mereka Raja Tallo tanggal 9 dan Karaeng Lengkese tanggak 31 Maret 1668, baru bersedia menandatangani suatu “naedercontrackten” ( kontrak tambahan ). Sedang Arung Matowa Wajo La Tenri Lai Tosengngeng tetap pada pendiriannya tidak setuju untuk menyerah dan tunduk pada perjanjian – perjanjian itu.
Kemenangan Speelman dengan bantuan sekutu – sekutunya, Arung Palakka, Mandarsyah, Jonker van Manipa dan Buton, Batavia berpesta pora. Dalam surat laporan Speelman pada 5 November 1667 kepada atasannya. Speelman melakukan konsolidasi, Benteng Ujung Pandang yang diserahkan kepadanya disiagakan dan diresmikan namanya menjadi Fort Rotterdam. Arung Palakka sendiri dinobatkan menjadi Raja Bone.
Ketika Cappayya ri Bungaya ditanda tangani Sultan Hasanuddin meminta kepada La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matowa Wajo untuk mengikutinya, maka beliaupun menjawab : ” Saya masih punya sisa pasukan 10.000 prajurit Wajo.
Apabila laskar saya sudah tewas semuanya, barulah saya akan menyerah ! “.
Setelah perjanjian Bungaya ditanda tangani, berkatalah Raja Bone kepada Raja Gowa : ” Perang kita Bone – Gowa sudah berakhir Karaeng ! Akan tetapi perang saya dengan keluarga kita dari Wajo belum selesai “. Dengan amarah yang memuncak, La Tenrilai’ to Sengngeng mencabut keris pusakanya seraya berkata dengan suara menggelegar, : ” Sangadi cappuupi Pakannaku na ipasigajangnga’ La Tenri Tatta ‘, iyajjulEkkaipi bakkEku na inappa riyala bessi Wajo “.
Itulah sumpah yang di ucapkan La Tenri Lai sebelum meninggalkan Makassar menuju negeri nya tanah Wajo, pasca Perjanjian Bungaya,
Sultan Hasanuddin terus mendesak agar mau pulang ke Wajo , akhirnya kembalilah Arung Matowa Wajo dengan laskarnya ke negerinya tanah Wajo, tanpa ikut menyerah tanpa menandatangani perjanjian Bungaya.
Menyadari sikap keras Arung matowa Wajo, Arung Palakka merasa perang belum benar-benar berakhir meskipun hampir semua Sekutu Wajo sudah menyerah, tapi Wajo adalah ancaman yang harus dihentikan sebelum membesar. Maka Arung Palakka bersama pasukannya dan pasukan VOC segera menyusul pasukan Wajo dan terlebih dahulu membawa pasukan besarnya di Allmungeng patue ri Timurung, Tempat bersejarah perjanjian Tellumpocco’e dilakukan
Perjanjian aliansi Bone-Wajo-Soppeng. Dan mengutus Tokoh-tikoh pembesar Kerajaan Soppeng yaitu Arung Bila, Arung Appanang, dan Arung Belo, untuk menemui Arung Matowa Wajo agar bisa menyambung kembali tali persaudaraan “Tellumpocco’e” yang pernah disepakat oleh para leluhur pemimpin ke 3 kerajaan (Bone-Wajo-Soppeng) di Timurung.
Adapun isi surat Arung Palakka kepada Arung Matowa Wajo adalah, “Bahwa tidak akan menjadi baik Bone, Soppeng dan Wajo kecuali apabila ketiga kembali menyambung silaturrohim dan menjalin kembali ikatan persaudaraan yang pernah dibuat oleh leluhur yaitu Perjanjian Trialiansi TellupoccoE di Timurung dahulu”
Adapun tanggapan Arung Matowa Wajo adalah bahwa sebagai Raja Wajo pada saat itu menghormati dan memahami Perjanjian TellupoccoE, namun tetap tidak mau menerima ajakan tersebut, karena Bone dan Soppeng sudah bersekutu dengan VOC Belanda untuk menyerang Somba Opu, serta beliau tidak ingin menghianati perjanjiannya dengan Gowa.
Mendengar jawaban La Tenri Lai To Sengngeng, lalu utusan Arung Palakka pun berkata, “Itulah keputusan Puang yang kami pegang, namun Gowa telah ambruk, maka begitu pula dengan dirimu dan Kerajaanmu, dan semetara kami Bone dan Soppeng akan selalu tetap berjaya dan hidup.”
Untuk mencegah terjadinya perang besar yang akan menjelang banyak korban, La Tenri Lai Tosengngeng mengajak duel Arung Palakka tetapi tidak disanggupi dan tetap membawah pasukannya mengepung Pusat Kerajaan Wajo.
Setelah gagal dalam negosiasi dengan pihak Kerajaan Wajo, maka di sore harinya pula Arung Palakka beserta Arung Appanang, Arung Bila dan Arung Belo, bersama pasukan gabungan lainnya dan VOC menggempur Kerajaan Wajo.
Perang besar mempertahankan Ibukota kerajaan Wajo, tanah kemuliaan Tanah Amaradekangeng. luka terpatri pada dinding sejarah, saksi bisu perlawanan Raja Wajo La Tenri Lai To Sengngeng bersama Rakyatnya mempertahankan kedaulatan dan prinsip pantang menyerah kepada VOC. Darah pun tercecer dimana – mana, menyiram tanah Wajo, sebagai lukisan keberanian rakyat wajo bertarung gagah perkasa bersimgah darah dan air mata.
La Tenri Lai To Sengngeng gugur bersama terbakar dan meledaknya gudang mesiu, yang dibakar oleh pasukan musuh yang menyelinap masuk ke dalam benteng. .
Janji La Tenri Lai untuk tetap melawan VOC Belanda sampai semua pasukan nya habis, telah dibuktikan melalui perang dahsyat di Tosora. Wajo tetap tidak mau tunduk dan takluk menandatangani perjanjian bungaya sampai beliau bersama pasukan nya benar-benar hancur bersama ledakan mesiu. .
Akhir bulan Oktober 1670 letusan hebat terdengar di pusat pertahanan Tosora, gedung penyimpanan mesiu meledak, yang menyebabkan La Tenri Lai To Sengngeng ArunG Matoa Wajo meninggal bersama 997 orang pasukannya. Ledakan dan kebakaran gudang mesiu mengakibatkan cadangan mesiu semakin menipis.
Pammana, Peneki, Tuwa sebelumnya telah berpihak ke Bone. Peperangan terus berkobar dan Bone terus mendapatkan bantuan pasukan dari Belanda.
Wajo akhirnya takluk dan berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bone. Kemerdekaan (Amaradekangengnna) To WajoE hilang dan terampas, dan Kurang lebih 40 tahun kemudian baru dapat direbut kembali dari Bone pada masa La Maddukkelleng Arung Peneki Arung Sengkang Sultan Paser Arung Matowa Wajo ke 31.
(Sbr: Laskar Budaya Goa)
(Sym).